AKAR PERMASALAHAN KONFLIK LAHAN DI INDONESIA DAN UPAYA PEMECAHANNYA

AKAR PERMASALAHAN KONFLIK LAHAN DI INDONESIA DAN UPAYA PEMECAHANNYA



Oleh: M Sunu Probo Baskoro
7716167947
Program Studi Manajemen Lingkungan
Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta

I.              Pendahuluan

Konflik lahan sudah sering terjadi di Negara berkembang seperti Indonesia. Konflik lahan di Indonesia sudah terjadi bahkan sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada rentang tahun 1965-1970-an.
Dapat dibuat sebuah kesimpulan awal bahwa akar masalah dari konflik lahan di Indonesia adalah karena kepadatan penduduk di atas tanah yang paling subur terus meningkat dan organisasi social ekonomi tidak disesuaikan dengan tuntutan peningkatan kepadatan penduduk.
Seorang peneliti tanah dan agronomi, Mohr dan van Baren pada 1960-an melakukan penelitian di tanah Jawa dan menyimpulkan bahwa, tanah di Jawa dan Bali memiliki tingkat kesuburan lebih baik dibandingkan dengan tanah-tanah diluar pulau Jawa dan Bali.
Adanya perbedaan kesuburan inilah yang membuat tanah di Jawa dan Bali menjadi rebutan. Kesuburan tanah di Jawa dan Bali disebabkan dengan adanya gunung-gunung berapi yang rutin mengeluarkan atau memuntahkan lahar. Hal ini membuat tanah-tanah di dataran rendah kaki gunung itu menjadi subur.
Berbeda dengan tanah-tanah yang berada di luar pulau Jawa dan Bali. Tanah-tanah di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya kurang memiliki factor-faktor penyubur seperti tanah-tanah di Jawa dan Bali. Hal ini juga mengakibatkan penggunaan dan vegetasi tanah secara efisien juga berbeda.
Benih-benih konflik tanah secara laten sudah lama ada karena keterbatasan bentangan tanah subur sedangkan jumlah penduduk kian hari semakin bertambah.
II.            Konflik lahan di Eropa
Kerajaan-kerajaan di Eropa pada masa dahulu mewajibkan petani-petani untuk memberikan sepersepuluh dari hasil panen sebagai pajak. Selain menyerahkan hasil panen, petani juga wajib memberikan tenaga kerjanya. Petani di Eropa juga diwajibkan menyerahkan putra mereka untuk menjadi prajurit pembela kerajaan bila diserang musuh.
Kasus pertama konflik pertanahan di Eropa adalah landreform Romawi pada dua abad sebelum masehi. Pada waktu itu petani-petani menggarap bidang-bidang tanah yang kecil untuk tanaman pangan. Mereka juga menyerahkan anak lelaki mereka kepada tentara untuk dijadikan prajurit.
Menjelang pertengahan abad kedua sebelum masehi, keseimbangan tatanan masyarakat Romawi berubah. Hal ini disebabkan berubahnya tatanan ekonomi dikalangan masyarakat Romawi. Lapisan masyarakat atas yang lebih kuat mengganti pertanian pangan menjadi usaha peternakan.
Berubahnya usaha pertanian menjadi peternakan mengakibatkan dibutuhkannya lahan untuk pengembalaan. Maka penguasa Romawi kala itu menjadikan lahan-lahan garapan pertanian petani kecil untuk digunakan sebagai penggembalaan. Bila petani kecil melawan maka tanah mereka akan disita oleh Pemerintah Romawi.
Kasus-kasus pertanahan di Eropa pada tahun 1000 masehi hingga abad pertengahan sudah lebih baik. Hal ini disebabkan dengan munculnya sector industry yang mulai berkembang disamping sector jasa dan perdagangan. Pada waktu itu, petani-petani di wilayah Inggris membudidayakan tanaman pangan untuk konsumsi sendiri.
Di Perancis, pada abad ke 18 dan 19, pertumbuhan perdagangan dan industrinya tidak secepat Inggris. Oleh karena itu, pertanian sebagai sector usaha bertahan lebih lama. Namun pada Revolusi Perancis 1789 menampilkan kelas perdagangan baru yang memimpin revolusi. Kaum tani yang nasibnya jelek saat kekuasaan Raja Louis turut bersimpati. Dendam para petani kepada keluarga Raja yang hidup bermewah-mewah sudah memuncak. Akibat dari Revolusi Perancis, merombak struktur social Perancis.
Konflik lahan di Rusia terjadi pada sebelum 1917. Dimana ada pertentangan antara kaum petani kecil dan petani kaya. Mereka berebut kuasa atas tanah. Pemerintah Uni Soviet dibawah Stalin akhirnya menyatakan semua tanah pada hakikatnya dikuasai oleh Negara dan kaum petani kaya dipaksa agar mau menyerahkan sebagian besar tanah mereka untuk ditransformasikan menjadi tanah usaha kooperatif dibawah pengelolaan Negara.

III.          Masalah Pertanahan di Indonesia
Ekonom klasik David Ricardo dan H. Von Thuenen telah berhipotesa bahwa areal tanah yang paling subur akan dimanfaatkan oleh penduduk terlebih dahulu. Penduduk yang tergolong pendatang berikutnya terpaksa menggarap tanah yang kurang subur dan seterusnya sampai tanah kritis dan gersang pun akan dimanfaatkan dan direklamasi bila penduduk terus bertambah, dan sector pertanian tetap merupakan sector yang terpenting di satu Negara.
Bila kita melihat negeri kita Indonesia, memang Jawa dan Bali yang diunggulkan untuk pertanian pangan. Hal ini dikarenakan kesuburan tanahnya. Setelah masyarakat tidak menemukan tanah sawah yang subur, mereka bersedia merantau bukan saja keluar Jawa dan Bali melainkan juga keluar dari Indonesia.
Bila pemerintahan orde baru memiliki program transmigrasi maka pada saat penjajahan Belanda ada program semirip, yakni kolonisasi. Jawa dan Bali yang dihuni oleh dua pertiga penduduk Indonesia menjadi terlalu padat. Petani kita terpaksa mencari tanah di pulau-pulau lain yang ternyata tingkat kesuburannya kurang.
Pola penguasaan tanah antara Jawa dan Bali dengan pulau-pulau besar lainnya memang berbeda. Hal ini dikarenakan kepadatan penduduk dan karena di Jawa sudah mengenal pemilikan tanah pribadi sejak 1816. Sedangkan pemilikan tanah diluar Jawa dikenal dengan kepemilikan tanah secara komunal atau kolektif. Oleh karena itu, konsep “hak milik pribadi” atas tanah kurang dipahami oleh suku-suku bangsa diluar Jawa. Setidaknya kemutlakan penguasaan atas tanah tidak sekuat di Jawa.
Hal ini juga tampak dari pemberian imbalan dari Kementerian Transmigrasi kepada petani-petani diluar Jawa. Di Lampung misalnya, persetujuan marga (keluarga besar) setempat dengan imbalan atas “tanam tumbuh” (vegetasi) dianggap cukup untuk memperoleh sebidang tanah bagi transmigran. Setelah mereka menetap dan desa baru berkembang jual beli oleh transmigran dianggap wajar, karena adanya sertifikat yang dianggap sebagai bukti penguasaan mutlak.
Dalam konsep marga tampaknya penyerahan tanah kepada transmigran itu, yang tanam tumbuhnya diganti adalah untuk dimanfaatkan bukan tidak untuk diperlakukan sekehendak hati oleh transmigran. Inilah salah satu penyebab konflik di daerah transmigrasi. Kerap penduduk setempat menuntut kembali bidang tanah yang sudah diserahkannya.
Dalih yang digunakan antaranya adalah Kepala marga tidak pernah memberitahukannya sampai alasan tanah leluhur tidak boleh dimiliki orang luar marga-nya.

IV.          Upaya Pemecahan Masalah Pertanahan di Indonesia
Sudah diakui secara universal bahwa di Negara-negara yang hidup terutama dari sector pertanian, keadaan pertanahan yang semakin memburuk mudah sekali menimbulkan keresahan agraris. Keresahan itu kemudian bisa menjadi keresahan politik bila di kota-kota ada golongan-golongan politik yang tidak puas dan menyatukan kekuatan dengan golongan tani kecil dan buruh tani yang tidak mempunyai kesempatan hidup dengan layak.
Ilustrasi-ilustrasi sehubungan dengan proses timbulnya keresahan agraris diberikan oleh Jacoby dengan menganalisa Indonesia, Burma, Malaysia, Indocina, Philipina, dan Thailand. Pada umumnya, memang akibat system ekonomi yang eksploitatif, pertambahan penduduk, dan kemiskinan menimbulkan gejala lapar tanah. Partai-partai politik yang beroposisi tidak jarang memanfaatkan ketidakpuasan dikalangan petani dan buruh tani untuk melancarkan perombakan politik. Namun sejarah menunjukkan bahwa tidak semua perombakan politik akhirnya menguntungkan buruh tani dan petani kecil.
Pada awal pemerintahan sesaat setelah merdeka, Pemerintah mengerti bahwa persoalan tanah merupakan persoalan yang penting. Maka menyadari hal itu, Pemerintah meninjau kembali undang-undang agraria. Berdasarkan pasal 33 UUD 1945, seluruh sumber daya alam di dalam batas wilayah Indonesia diperuntukkan bagi kepentingan bangsa dan bila dimanfaatkan harus memiliki fungsi social yang tak terbantahkan. Oleh karena itu, petani kecil dan buruh tani haruslah diberi sebidang tanah agar mampu mengemansipasikan diri mereka ke arah tingkat kesejahteraan lebih tinggi.
Untuk menyelesaikan permasalahan pertanahan, pemerintah membentuk komisi-komisi yang berkedudukan di Jakarta dan Yogyakarta. Komisi-komisi itu bekerja untuk memberi nasihat kepada pemerintah serta menyiapkan undang-undang agraria yang sesuai untuk Republik Indonesia yang baru merdeka.
Pada juli 1960, komisi itu mampu membuak Undang-undang Pokok Agraria, atau lebih dikenal dengan UUPA (mengenai landreform) UUPBH (mengenai sewa-menyewa dan bagi hasil) atau biasa disebut sebagai undang-undang No 5 tahun 1960).
Pada pemerintahan orde lama, pemerintah sempat meredistribusi tanah Negara dan beberapa kasus tanah pribadi yang terlalu luas (yaitu diatas batas luasan yang diizinkan). Distribusi tanah yang sesungguhnya kepada petani kecil dan buruh tani baru dilakukan tidak kurang dari tiga tahun setelah undang-undang itu dikukuhkan.
Sampai dengan September 1965, pemerintah orde lama telah berhasil menyerahkan 454,966 ha tanah kepada 568.862 orang. Saat itu ada 720,000 ha tanah yang potensial untuk diredistribusikan. Orde lama akhirnya mampu meredistribusikan 63 % dari tanah yang tersedia.
Dari sudut keuangan ternyata redistribusi tanah bukanlah hal yang mahal. Sebagai contoh, ganti rugi yang dibayarkan pemerintah untuk 12,200 ha tanah adalah Rp 253,3 juta (1968) atau rata-rata Rp 21,000 per ha.
Pada masa orde baru, tidak melalukan landreform, namun menerapkan kebijakan yang berbeda dengan menerapkan teknologi untuk meningkatkan produksi pertanian. Sejak pelita (Pembangunan Lima Tahun) pertama, orde baru merehabilitasi system irigasi, konstruksi bendungan-bendungan baru, reboisasi, pembangunan pabrik-pabrik pupuk, dan bibit unggul mendapat perhatian dan prioritas jauh lebih tinggi.
Pelaksanaan kembali kebijaksanaan landreform harus dimulai dengan penerapan UUPBH yang lebih konsisten, ketimbang penerapan landreform atau redistribusi lahan. Khususnya di Jawa, redistribusi lahan dkhawatirkan akan berdampak pada penurunan produksi pangan secara tajam yang akan lebih banyak merugikan ekonomi Indonesia.

Sebagai butir akhir dan tak kalah pentingnya adalah perlu disebutkan bahwa perencanaan local terkendala akibat tidak adanya perencanaan tata guna lahan makro. Berdasarkan perencanaan umum yang diformulasi oleh pemerintah pusat, maka pola tata guna lahan pada tingkat yang lebih rendah dapat dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip umum yang disepakati yaitu pada tingkat nasional ataupun regional.

Komentar

Postingan Populer