CARUT MARUT PENGELOLAAN HULU DAN HILIR MIGAS INDONESIA (ANALISA ATAS UU NOMER 22 TAHUN 2001 TENTANG MIGAS)
Kebijakan Publik merupakan modal utama yang dimiliki oleh
suatu Pemerintahan untuk mengelola dan menata kehidupan masyarakat. Tentunya
dengan kebijakan public Pemerintah akan mampu mengelola dan menata seluruh
aspek kehidupan masyarakat. Aspek itu diantaranya adalah aspek social, budaya,
politik, dan ekonomi.
Melalui kebijakan public Pemerintah juga mampu memaksa
masyarakat untuk tunduk dan patuh mengikuti aturan dalam sebuah kebijakan. Hal
inilah yang menandakan bahwa kebijakan public merupakan modal utama Pemerintah
sehingga memiliki kekuatan dan kewenangan hukum. Kebijakan Publik dikatakan
memiliki sifat memaksa dikarenakan Kebijakan Publik memiliki legitimasi dan
didasari dengan regulasi yang jelas.
Penerbitan suatu Kebijakan, apalagi Kebijakan yang
menyangkut hajat orang banyak tentunya mempunyai suatu tujuan. Tentunya
tujuannya adalah mengatur, menyelaraskan dan menyejahterakan seluruh
masyarakat, sehingga dengan hadirnya suatu kebijakan mampu memberi solusi bagi
segala masalah public yang sedang terjadi.
Sejatinya dengan adanya kebijakan yang diterbitkan oleh
Pemerintah, kebijakan itu mampu memberi ruang atau akses yang lebih besar
kepada masyarakat yang selama ini terpinggirkan. Dalam pengambilan keputusan
penerbitan suatu kebijakan secara teoritis, Pemerintah haruslah mendengarkan
masukan dari berbagai pihak termasuk dari masyarakat.
Saat ini kita berada di masa reformasi dimana demokrasi
sudah lebih baik dibandingkan dengan masa sebelumnya. Dengan asumsi itu, maka
alam demokrasi yang lebih baik seharusnya menghasilkan kebijakan-kebijakan yang
lebih baik. Hal ini dikarenakan kebijakan public merupakan hasil dari sebuah
system social politik.
Namun kenyataannya tak demikian, masih banyak
kebijakan-kebijakan yang walaupun dihasilkan pada saat masa reformasi dimana
dikatakan memiliki alam demokrasi yang lebih baik belum mampu menghasilkan
kebijakan-kebijakan yang baik apalagi kebijakan yang berpihak terhadap rakyat
banyak.
Banyaknya kebijakan-kebijakan yang belum berpihak kepada
masyarakat menandakan bahwa dengan alam demokrasi yang lebih terbuka dan baik belum
tentu atau tidak akan liniear dalam menghasilkan kebijakan yang berpihak kepada
rakyat. Hal ini dikarenakan penerbitan suatu kebijakan dipengaruhi oleh
komponen-komponen yang menjalankan dan menjadi bagian system itu. Dalam hal ini
adalah manusianya dan system politiknya.
Kebijakan public merupakan produk poitik, sehingga
unsur-unsur politik ikut mempengaruhi dan mewarnai kebijakan yang dihasilkan.
Masalah yang timbul dari kebijakan yang sarat dengat kepentingan politik
adalah, kebijakan itu hanya akan menjadi milik atau menguntungkan segelintir
orang bukan menyejahterakan rakyat banyak sebagaimana tujuan awal dari
penerbitan suatu kebijakan.
Alangkah lebih baik jika pembuat kebijakan mampu menentukan proporsionalitas
dari isi suatu kebijakan. Walaupun kebijakan merupakan produk dari politik
namun kepentingan masyarakat masih mendapatkan tempat dalam kebijakan itu,
sehingga kebijakan itu dapat mengakomodir kepentingan semua pihak.
Dalam sistem politik dikenal dengan pengambilan suara
terbanyak atau lebih dikenal dengan voting (50+1). Menurut system politik
pengambilan suara terbanyak dengan melakukan tata cara voting merupakan cara
yang baik. Berbeda dengan pengambilan keputusan terhadap suatu kebijakan
publik. Bila suatu kebijakan public merupakan suatu kompromi politik dalam arti
politik dagang sapi, maka sejak dilahirkan kebijakan itu telah membawa cacat
bawaan atau menciptakan sejumlah lubang jebakan (loopholes)
Ternyata praktek-praktek kompromi dalam penerbitan suatu
kebijakan masih terjadi di Indonesia. Alhasil dengan adanya praktek-praktek
kompromi dalam penerbitan suatu kebijakan membuat kualitas kebijakan yang
dihasilkan oleh Indonesia kualitasnya tak berbeda jauh dengan Negara-negara
yang kualitas demokrasinya belum sedemokratis Indonesia, seperti Negara
Singapura dan Hongkong.
Hal ini menegaskan bahwa system yang demokratis tidak melulu
atau tidak otomatis melahirkan sebuah kualitas kebijakan yang lebih baik.
Apalagi bila sejumlah perangkat dari system demokratis sebagaimana yang
dipersyaratkan sejumlah ahli politik belum bisa dipenuhi.
Kondisi lebih parah jika dalam penerbitan kebijakan yang
lebih diutamakan adalah kuantitas atau jumlah penerbitan kebijakan public. Hal
ini dilakukan hanya untuk memenuhi prosedural dalam berdemokrasi. Hal ini
pernah terjadi di Indonesia saat awal-awal masa reformasi.
Suatu kebijakan public dapat dikatakan baik jika kebijakan
itu diuji melalui serangkaian konsep teoritik mutakhir. Karena memang sejak
awal kebijakan itu dibuat dengan mengacu kepada perkembangan konseptual
mutakhir. Dari perspektif ini kebijakan publik yang dilahirkan dalam system
demokrasi adalah lebih baik karena ia memang penyempurnaan dari kebijakan yang
terdahulu.
II.
PERUMUSAN MASALAH
Kebijakan public
merupakan alat atau tools untuk
mencapai tujuan public, bukan tujuan perorangan atau golongan dan kelompok.
Walaupun kebijakan public hanya sebatas alat atau tools namun keberadaanya sangatlah penting.
Keberadaannya
dianggap penting dikarenakan sangat menentukan tercapainya sebuah tujuan
meskipun harus menyertakan syarat-syarat dan tahapan lain yang diwajibkan agar
sampai pada tujuan yang dikehendaki. Keberadaan kebijakan public dianggap krusial karena sebuah kebijakan
seringkali diperlakukan seolah lebih penting atau sejajar dengan tujuan yang
hendak dicapai padahal kebijakn hanya sekedar alat meskipun merupakan alat yang
penting.
Biaya besar yang
dikeluarkan untuk menyusun kebijakan adalah cerminan betapa pentingnya sebuah
kebijakan dan sekaligus cerminan perlakuan berlebihan seolah hadirnya kebijakan
lebih penting dari upaya pencapaian tujuan yang sebenarnya.
Diperlukan
kreativitas dan inovasi dengan melibatkan semua stakeholders agar kebijakan yang diterbitkan bukan hanya sesuai
dengan konteks dan lingkungan stratejiknya, tetapi agar lebih mudah
dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Hal ini dikarenakan saat mengolah kebijakan
itu sudah mendapatkan masukan dari berbagai pihak tak terkecuali dari
masyarakat.
Untuk mengatur
tentang Minyak dan Gas Bumi, Pemerintah telah menerbitkan Kebijakan berupa
Undang-undang. Hal itu tertuang pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dimana pada Bab IV dan Bab V mengatur
tentang Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir.
Bab IV yang
merupakan bab pengatur kegiatan usaha hulu memiliki dua belas pasal. Dimulai
dari pasal 11 hingga pasal 22. Pada Bab IV itu diatur segala macam yang
berkaitan dengan kegiatan usaha Hulu. Pada kebijakan itu dijelaskan bahwa
kegiatan hulu itu berkaitan dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Dalam
melakukan kegiatan eksploitasi dan eksplorasi haruslah badan usaha atau badan
usaha tetap berdasarkan kontrak kerjasama dengan badan pelaksana.
Pada ayat
selanjutnya menjelaskan bahwa setiap kontrak kerjasama yang sudah
ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Dalam kontrak kerjasama itu setidaknya memuat ketentuan-ketentuan pokok
diantaranya: penerimaan Negara, wilayah kerja dan pengembaliannya, kewajiban
pengeluaran dana, perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas
Bumi, jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak, penyelesaian perselisihan,
kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/ atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam
negeri, berakhirnya kontrak, kewajiban pasca operasi pertambangan, keselamatan
dan kesehatan kerja, pengelolaan lingkungan hidup, pengalihan hak dan
kewajiban, pelaporan yang diperlukan, rencana pengembangan lapangan,
pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, pengembangan masyarakat
sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat dan pengutamaan penggunaan
tenaga kerja Indonesia.
Walupun segala
sesuatunya telah diatur dalam UU nomer 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas
namun masih saja terdapat masalah dalam penerapannya di lapangan. Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh Gabungan Usaha Penunjang Energi dan Migas
(Guspenmigas) meminta pemerintah agar menggunakan produk dan jasa dalam negeri
di sector energy, minyak dan gas (migas).
Sebagaimana
diketahui bahwa saat ini peralatan migas seperti rig pengeboran, pipa-pipa
pengeboran masih memakai produksi luar negeri. Hal inilah yang disayangkan oleh
Guspenmigas padahal hal itu diatur dalam Undang-undang nomer 22 tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi pada pasal 11 ayat tiga.
Guspenmigas
menyatakan bahwa, kemampuan engineering,
procurement and construction (EPC) dalam negeri, kemampuan industry pipa,
industry offshore, perkapalan dalam negeri sudah mampu untuk menopang industry
minyak dan gas bumi dalam negeri.
III.
KONSEP PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Di Negara-negara maju dan demokratis, peran dan fungsi
kebijakan public dapat diandaikan dengan sebuah kapal. Kapal itu dibuat untuk
menjawab persoalan atau menjawab kebutuhan pengunaannya. Kapal itu tidaklah
harus canggih namun kapal itu haruslah dibuat dan didesain sesuai dengan medan
laut yang harus dilaluinya.
Hal itu dilakukan dengan maksud agar kapal itu mampu
menjalankan misinya secara efektif dan efisien sesuai dengan besaran persoalan
ataupun medan yang akan dihadapi. Pengemudi kapal bukan hanya harus mampu dan
memiliki jam terbang dalam mengemudikan kapal itu tetapi juga harus didukung
oleh awak yang berpengalaman agar tercipta kerjasama yang produktif.
Para penumpang kapal juga jangan bersikap pasif, minimal
haruslah aktif mengawasi untuk memastikan bahwa arah dan tujuan kapal serta
kecepatannya sesuai dengan standart operasional prosedur sehingga kapal dan
awaknya dapat sampai tujuan dengan selamat sesuai dengan yang dicita-citakan.
Jika semua sesuai dengan prosedur maka seluruh komponen baik
awak kapal ataupun pengemudi dan penumpangnya akan menjalankan peran dan
fungsinya dengan senang hati. Penumpang pun tidak akan keberatan jika dimintai
sejumlah uang untuk ongkos perjalanan mereka.
Di Negara modern dan demokratis, hubungan yang polanya top-down bukan hanya dianggap using dan
tidak kompatibel dengan system yang ada tetapi juga tidak sehat. Minimal dalam
jangka panjang karena berdampak buruk dan mengacaukan hakekat tujuan public
sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi.
Inti dari desain pengambilan keputusan adalah ide-ide
ataupun gagasan-gagasan yang harus diidentifikasi dan dianalisa. Elemen-elemen
yang harus dianalisa dan diidentifikasi adalah, target, kelompok yang menjadi
target kebijakan, agen, struktur implementasi, perangkat implementasi,
peraturan, asumsi-asumsi dan rasionalitas-rasionalitas.
Dalam konteks formulasi, maka berbagai isu yang banyak beredar
didalam masyarakat tidak semua dapat masuk agenda pemerintah untuk diproses
menjadi kebijakan. Isu yang masuk dalam agenda kebijakan biasanya memiliki
latar belakang yang kuat berhubungan dengan analisis kebijakan dan terkait
dengan enam pertimbangan sebagai berikut:
·
Apakah Isu tersebut dianggap telah mencapai tingkat kritis
sehingga tidak bisa diabaikan?.
·
Apakah Isu tersebut sensitif, yang cepat menarik perhatian
masyarakat?
·
Apakah Isu tersebut menyangkut aspek tertentu dalam masyarakat?
·
Apakah Isu tersebut menyangkut banyak pihak sehingga mempunyai
dampak yang luas dalam masyarakat kalau diabaikan?
·
Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kekuasaan dan legitimasi?
·
Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kecenderungan yang sedang
berkembang dalam masyarakat?
IV.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Kebijakan
energi tidak serta merta terbentuk dengan sendirinya. Terdapat faktor-faktor
atau variabel-variabel yang mempengaruhi terjadinya kebijakan energi. Tidak ada
satupun referensi ataupun teori yang secara pasti menyebutkan faktor-faktor
penentu kebijakan ini. Namun, dalam setiap proses pengambilan kebijakan energi
pada sebuah negara, faktor-faktor ini, baik seluruh maupun sebagian selalu
tampil dan menjadi pertambangan Pemerintah. Terdapat setidaknya delapan faktor
yang secara sebagian atau seluruhnya mempengaruhi proses pembuatan kebijakan
energi beberapa negara di dunia:
Pertumbuhan
Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi selalu dihitung berdasarkan pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Peningkatan nilai PDB mengarahkan pada
pertumbuhan ekonomi. Artinya, peningkatan nilai produksi barang dan jasa
diiringi akan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Semakin tumbuh ekonomi suatu
negara, maka semakin meningkat pula aktivitas produksi barang dan jasanya. Di
satu sisi, aktivitas produksi barang dan jasa ini selalu didorong oleh
ketersediaan energi. Dengan kata lain, semakin tinggi aktivitas produksi
ekonomi suatu negara, maka semakin tinggi pula konsumsi energi yang dilakukan.
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Belke (2010).
“The growth hypothesis suggests that
energy consumption is a crucial component in growth, directly or indirectly as
a complement to capital and labour as input factors of production. Hence, a
decrease in energy consumption causes a decrease in real GDP” (Belke, dkk,
2010)
Belke mengatakan
bahwa energi menjadi salah satu faktor input pada produksi. Energi menjadi
pelengkap modal, dan tenaga kerja. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa
pengurangan konsumsi energi akan menyebabkan menurunnya PDB riil suatu negara.
Setiap negara berusaha untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran, salah
satunya melalu pertumbuhan ekonomi. Suatu negara tentunya tidak menginginkan
negaranya mengalami kemunduran ekonomi. Oleh karenanya, Pemerintah pasti akan
menambah jumlah konsumsi energi agar ketersediaan eenergi untuk aktivitas
produksi terpenuhi. Dengan begitu, terjadi kecukupan energi bagi pembangunan
ekonomi negaranya.
Investasi adalah salah satu komponen perekonomian
makro suatu negara yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Semakin banyak investasi yang masuk dan berkembang di negara tersebut, maka
akan terjadi peningkatan nilai PDB. Di satu sisi, investasi juga akan menyerap
tenaga kerja dalam negeri dan akan menggeliatkan aktivitas ekonomi lainnya.
Namun demikian, seperti ekonomi, investasi juga akan menambah jumlah konsumsi
energi dengan dibangunnya kantor, dan pabrik-pabrik baru. Oleh karenanya, agar
investasi dapat tumbuh dan berkembang, Pemerintah harus menjamin adanya
ketersediaan energi di dalam negeri. Karena salah satu diantara indikator dalam
menentukan lahan investasi adalah kondisi ketersediaan energi. Di satu sisi,
investasi yang masuk dan berkembang juga dapat merupakan investasi dalam
industri energi, seperti industri minyak, gas, batubara, listrik, dan panas
bumi. Semakin tinggi jumlah investasi yang masuk, tentu kesempatan produksi
energi akan jauh lebih besar.
Lingkungan,
Isu
mengenai lingkungan dan konsumsi energi adalah isu yang belakangan ini selalu
menjadi pembahasan negara-negara di dunia.Pemakaian energi dunia yang
didominasi oleh energi fosil telah mendatangkan eksternalitas berupa
peningkatan CO2 di udara yang menyebabkan peningkatan gas rumah kaca. Kondisi
ini mengancam dunia karena akan menciptakan pemanasan global. Penurunan daya
dukung lingkungan akibat kegiatan eksploitasi tambang yang berlebihan juga
dapat terjadi. Oleh karenanya, faktor lingkungan menjadi faktor yang senantiasa
mempengaruhi kebijakan energi suatu negara.
Kondisi
Politik Dalam Negeri,
Politik selalu mempengaruhi proses pembuatan
kebijakan Pemerintah. Tarik menarik yang ada di dalam politik selalu
mengarahkan Pemerintah untuk memilih atau tidak memilih suatu kebijakan untuk
diterapkan. Fragmentasi politik yang banyak dan cenderung berlebihan akan
menciptakan suasana politik yang cenderung dekonstruktif atas kebijakan-
kebijakan Pemerintah. Dalam kaitannya dengan kebijakan energi, keseragaman cara
pandang dari para elite politik tentang peran strategis energi akan
mempengaruhi pengambilan keputusan Pemerintah terkait dengan kebijakan energi.
Perkembangan
Teknologi,
Perkembangan teknologi yang saat ini terjadi berorientasi pada
penggunaan teknologi yang hemat energi dan ramah lingkungan. Jika perkembangan
teknologi yang berorientasi pada efisiensi energi dan ramah lingkungan telah berkembang
di suatu negara, maka tentunya Pemerintah dapat menerapkan kebijakan energi
yang efisien.
Harga Energi Dunia dan Kondisi geopolitik,
Saat ini, harga energi dunia merupakan
salah satu variabel yang paling mempengaruhi Pemerintah dalam menetapkan
kebijakan energi. Harga energi dunia merupakan hasil dari mekanisme supply dan
demand agregatif dunia. Oleh karenanya, jika negara tersebut merupakan salah
satu negara net oil importer harga minyak dalam negerinya pasti dipengaruhi oleh
harga minyak dunia. Di satu sisi, harga minyak dunia sangat dipengaruhi oleh
faktor geopolitik. Stabilitas geopolitik dunia akan menciptakan stabilitas dan
pendurunan harga minyak. Sebaliknya, perang, kelangkaan, embargo, dan gejolak
geopolitik lainnya akan menciptakan harga minyak dunia yang fluktuatif dan
cenderung meningkat.
Pertumbuhan
Transportasi
Aktivitas ekonomi, yaitu produksi, konsumsi, dan distribusi
yang terus meningkat akan menciptakan mobilitas yang semakin tinggi pula.
Mobilitas dan migrasi selalu identik dengan proses berpindah, oleh karenanya
transportasi selalu menjadi variabel yang tidak pernah absen dari keduanya.
Pertumbuhan transportasi tentunya akan diiringi pula oleh peningkatan konsumsi
bahan bakar. Tingginya jumlah kendaraan pribadi dibandingkan dengan kendaraan
umum tentu akan lebih memperbesar margin konsumsi energi. Jika demikian,
Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan seperti pembatasan penggunaan energi
oleh kendaraan pribadi, dan sebagainya.
Jumlah Penduduk,
Semakin tinggi jumlah penduduk, maka
konsumsi energi pun akan semakin besar. Peningkatan jumlah penduduk juga akan
cenderung meningkatkan konsumsi energi melalu berbagai kegiatan ekonomi dan
mobilitas yang dilakukan. Kondisi tersebut tentu akan mempengaruhi Pemerintah
dalam menciptakan kebijakan energi agar ketersediaan energi yang dimiliki
negaranya mampu dan mencukupi kebutuhan energi penduduknya.
V Model Kebijakan
Model Elite (Policy sebagai Preferensi Elite)
Istilah
elite menurut kamus adalah bagian yang terpilih atau tersaring.
Jika
diterapkan dalam kehidupan kelompok, maka elite adalah bagia yang superior
secara sosial dari suatu masyarakat. Dan jika diterapkan dalam kehidupan
politik, elite adalah bagian atau kelompok tertentu dari suatu masyarakat yang
sedang berkuasa. Kalau dalam suatu masyarakat semua bagian atau kelompok secara
bersama-sama berkuasa, seperti dalam demokrasi langsung dan dalam
prinsip-prinsip kebersamaan dan kebulatan suara (unanimity principle), maka di
sini tidak ada elite yang berkuasa atau dengan kata lain tidak ada political
elite.
Public
policy dalam model elite ini dapat dikemukakan sebagai preferensi dari
nilai-nilai elite yang berkuasa. Walaupun sering dikemukakan oleh tokoh- tokoh
elite itu sendiri, bahwa public policy yang dianutnya adalah merefleksi dari
tuntutan-tuntutan rakyat banyak. Hal tersebut tampaknya lebih memencarkan
sebagai mitos dibandingkan dari kenyataan yang sesungguhnya.
Teori
model elite sebagaimana dikemukakan oleh Thoha (2010:125) menyarankan bahwa
rakyat dalam hubungannya dengan public policy hendaknya dibuat apatis atau
miskin akan informasi. Elite secara pasti lebih banyak dan sering membentuk
opini masyarakat dalam persoalan-persoalan policy, dibandingkan dangan massa
membentuk opini elite. Pejabat-pejabat pemerintah, administrator-administrator
dan birokrat hanya melaksanakan policy yang telah dibuat elite tersebut. Policy
mengalir dari elite ke massa melalui administrator-administrator tersebut.
Bukan sebaliknya berasal dari tuntutan-tuntutan masyarakat.
Teori
model elite ini secara singkat Thoha (2010:128) merumuskan sebagai
berikut:
·
Masyarakat
dalam suatu negara tertentu dibagi atas dua bagian, yakni bagian yang mempunyai
kekuasaan, dan bagian yang tidak mempunyai kekuasaan. Bagian masyarakat yang
mempunyai kekuasaan ini jumlahnya sedikit, sedangkan masyarakat yang tidak
mempunyai kekuasaan ini jumlahnya banyak. Hanya sejumlah kecil dari bagian
masyarakat tersebut yang mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat banyak.
Adapun massa tidak ikut berperan serta memutuskan public policy.
·
Sekelompok
kecil atau beberapa orang yang memerintah adalah bukan mewakili secara tipikal
dari massa yang diperintah. Policy mengalir dari kehendak elite melalui para
pejabat dan administrator yang melaksanakan policy tersebut dengan sasarannya
rakyat banyak. Rakyat banyak menjadi objek dari keinginan-keinginan elite.
·
Untuk
mencapai stabilitas dan menghindari adanya revolusi, maka gerakan-gerakan non
elite yang membahayakan posisi elite harus dikendalikan secara kontinu. Hanya
non elite yang sudah mau menerima konsensus dasar dari elite yang diperkenankan
masuk lingkaran pemerintahan elite.
·
Elite
membagi konsensus atas nama nilai-nilai dasar dari suatu sistem sosial yang ada
dan perlindungan dari sistem tersebut. Di Amerika dasar dari konsensus elite
adalah dihargainya milik pribadi, adanya batas-batas pemerintahan, dan
kemerdekaan pribadi. Di Indonesia dasar konsensus elite adalah falsafah dan
dasar negara Pancasila, yang akhir-akhir ini dikenal denga asas tunggal
Pancasila.
·
Publicpolicybukanlahmerefleksidarituntutan-tuntutanmasyarakatpada
umumnya, melainkan agak menonjolkan nilai-nilai kepentingan sekelompok orang
yang berkuasa (elite). Perubahan-perubahan dalam public policy lebih bersifat
tambal sulam (incremental) daripada bersifat revolusioner.
·
Elite
yang aktif adalah relatif kecil menjadi sasaran dari pengaruh langsung massa
yang apatis. Elite lebih banyak mempengaruhi massa dari pada massa mempengaruhi
elite.
Rumusan-rumusan teori model elite di atas kiranya dapat dipergunakan
sebagai dasar pemahaman model ini dalam public policy. Namun meskipun demikan
Thoha membuat suatu pertanyaan apakah implikasi teori model elite tersebut
terhadap analisis kebijakan dalam public policy? Pertanyaan di atas dijawab
sendiri oleh Thoha sebagai berikut :
1. Dalam
elitisme, public policy lebih banyak mencerminkan kepentingan dan nilai-nilai
elite dibandingkan dangan memperhatikan tuntutan- tuntutan rakyat banyak. Oleh
karena itu, perubahan dan inovasi di dalam public policy hanyalah dimungkinkan
sebagai suatu hasil dari merumuskan kembali nilai-nilai elite tersebut yang
dilakukan oleh elite sendiri. Itulah sebabnya elite lalu menjadi konservatif,
yakni mereka lebih menyukai bertahan pada suatu sistem yang ada. Maka jika
terjadi suatu perubahan dalam public policy, perubahan tersebut dilakukan lebih
bersifat tambal sulam dibandingkan daripada bersifat revolusioner. Dalam
bentuknya yang realistis public policy sering kali hanya disempurnakan dan
jarang dilakukan penggantian.
Pada
hakikatnya, terjadinya perubahan dalam sistem politik dan public policy, jika
timbul peristiwa-peristiwa yang mengancam suatu sistem yang berjalan. Dalam hal
ini elite bertindak dalam basis pemahaman atas kepentingan pribadi.
Perubahan-perubahan institusi hanyalah dilakukan untuk melindungi suatu sistem
yang ada dan posisi-posisi elite dalam sistem tersebut. Selain itu elite dapat
pula bersikap lain yakni memerhatikan kepentingan rakyat. Nilai-nilai dari
elite lalu menjadi nilai yang sangat memerhatikan persoalan-persoalan
masyarakat (public regarding). Suatu perasaan yang mempunyai kewajiban terhormat
dapat mewarnai nilai-nilai elite. Dan kesejahteraan masyarakat merupakan unsur
yang amat penting dalam keputusan-keputusan elite. Kalau timbul keadaan seperti
ini, maka elitisme itu sebenarnya bukanlah berarti bahwa public policy akan
bertentangan dengan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, tanggung jawab untuk
mensejahterahkan rakyat terletak pada bahu para elite tersebut bukannya pada
masyarakat.
2.
Pandangan kaum elite bahwa massa sebagian besar adalah pasif, apatis, dan
miskin informasi. Sentimen-sentimen rakyat acap kali dimanipulasikan oleh
elite, bukannya sebaliknya nilai-nilai elite dipengaruhi oleh sentimen rakyat.
Dan hampir pada semua bagian, kominikasi antara elite dan rakyat arusnya
mengalir secara deras kebawah. Ini berarti rakyat banyak menjadi sasaran dari
kehendak elite. Oleh karena itu, adanya suatu lembaga pemilihan umum yang
terkenal itu dan adanya kompetisi partai politik tidaklah memungkinkan massa
unutk ikut memerintah. Masalah-masalah policy dalam public policy jarang
diputuskan oleh rakyat lewat lembaga-lembaga pemilihan dan perwakilan atau
melalui hadirnya alternatif-alternatif policy yang diajukan oleh partai-partai
politik. Hampir seluruh lembaga-lembaga demokrasi (misalnya, pemilihan umum dan
partai politik) dirasakan penting hanya untuk simbol nilai-nilai elite.
Elite
menolong mengikat massa pada suatu sistem politik dengan memberikan pada suatu
peranan bermain pada hari pemilihan umum, dan adanya partai politik yang
dikenal dan diizinkan oleh elite. Pada saat yang terbaik (ini kalau bernasib
mujur) massa menurut elitisme hanyalah mempunyai pengaruh yang tidak langsung
terhadap perilaku elite dalam membuat policy.
Elitisme
juga melaksanakan pemerataan dalam konsensus mengenai norma-norma yang
fundamental yang berada dalam sistem sosial. Dan elite juga setuju akan dasar
‖aturan main‖, sebagaimana setujunya elite terhadap kelangsungan sistem sosial
itu sendiri. Stabilitas dari sistem itu dan juga kehidupannya tergantung pada
konsensus elite dalam melaksanakan sistem nilai yang fundamental. Dan hanya
alternatif- alternatif policy yang berada dalam batasan ‖meratakan konsensus‖
yang akan diberikan pertimbangan serius.
Sudah
barang tentu, elitisme bukanlah berarti bahwa diantara sesama anggota elite.
Tidak pernah terjadi ‖tidak sependapat‖ atau tidak pernah ‖bersaing‖ satu sama
lain untuk merebutkan superioritas. Justru kalau terjadi persaingan di antara
mereka, maka warna persaingannya akan lebih tajam akan tetapi diusahakan tidak
akan tampil ke permukaan. Diusahakan kompetisi diantara mereka terpusat pada
sekitar batas-batas yang amat sempit, sehingga diantara elite lebih banyak
setujunya dibandingkan dari pada tidak setujunya.
Hal-hal
yang dapat dipergunakan sebagai dasar konsensus elite antara lain:
‖pemerintahan yang konstitusional‖, ‖prosedur yang demokratis‖, ‖peranan
mayoritas‖, ‖kebebasan bersuara dan press‖, ‖kebebasan untuk membentuk partai
atau kekuatan oposisi‖,‖ kebebasan untuk memasuki sebagai pegawai dalam
kantor-kantor pemerintah tanpa dilihat sal ideologi politiknya‖,‖kesempatan
yang sama dalam setiap bagian dari kehidupan ini‖, ‖dihormati milik pribadi‖,
dan lain-lainnya. (Thoha, 2010:132).
Model
Kelompok (Policy sebagai Keseimbangan Kelompok)
Model
kedua yang dikemukanan oleh Thoha ( 2010 :132) adalah Model Kelompok (Policy
sebagai Keseimbangan Kelompok). Teori kelompok mulai dengan suatu ungkapan
bahwa interaksi di antara kelompok adalah fakta sentral dari politik dan public
policy. Menurutnya bahwa individu dengan kepentingan-kepentingan mengikat
bersama-sama baik formal maupun tidak formal menekankan tuntutan-tuntutannya
pada pemerintah. Menurut ahli ilmu politik David Truman suatu kelompok
berkepentingan adalah suatu kelompok yang ikut membagi sikap dengan mengajukan
tuntutan-tuntutan tertentu atas kelompok lainnya dalam suatu masyarakat untuk
kemantapan, pemeliharaan dan kesenangan dari suatu bentuk perilaku yang
terdapat dalam sikap-sikap yang dibagikan tersebut.
Kelompok
tertentu ini akan menjadi kelompok politik, jika dan manakala kelompok tersebut
membuat suatu tuntutan melalui atau tergantung akan institusi pemerintah.
Individu-individu amat penting dalam politik hanya ketika mereka bertindak
sebagai suatu bagian atau atas nama dari kelompok yang berkepentingan tersebut.
Sehingga dengan demikian kelompok merupakan jembatan yang esensial yang menghubungkan
antara individu dengan pemerintahnya. Dari hal ini dapat diketahui bahwa
politik benar-benar merupakan perjuangan di antara kelompok-kelompok untuk
memengaruhi public policy. Adapun tugas kewajiban dari suatu sistem
politik adalah untuk mengarahkan konflik kelompok dengan cara:
·
Menetapkan
aturan permainan dalam kelompok-kelompok yang sedang berjuang;
·
Mengatur
kompromi dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan;
·
Mewujudkan
kompromi-kompromi tersebut dalam rupa public policy;
·
Melaksanakan
pelaksanaan usaha-usaha dalam kompromi tersebut.
Menurut
model teori kelompok ini, public policy pada saat-saat tertentu dan
kapanpun, senantiasa merupakan usaha yang menjaga keseimbangan yang dicapai di
dalam kelompok yang sedang berjuang.
Model
Kelembagaan (Institution Model) (Policy sebagai hasil dari lembaga)
Akhir-akhir
ini struktur pemerintahan dan lembaga-lembaga yang ada telah lama menjadi pusat
perhatian dari ilmu politik. Secara tradisional, ilmu politik dirumuskan
sebagai suatu studi tentang lembaga-lembaga pemerintahan. Kegiatan-kegiatan
politik pada umumnya berpusat disekitar lembaga-lembaga pemerintahan tersebut,
seperti misalnya parlemen, kepresidenan, badan kehakiman, pemerintahan daerah,
partai politik, dan lain sebagainya. Public policy adalah ditentukan,
dilaksanakan, dan dipaksakan secara otoritatif oleh lembaga-lembaga pemerintah.
Lembaga pemerintah memberikan public policy tiga karakteristik antara
lain: (Thoha:2010:136)
1.
Pemerintah meminjamkan legitimasi kepada kebijaksanaan (policy).
Kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah pada umumnya dipandang sebagai kewajiban yang legal yang harus
dipatuhi oleh semua warga negara. Rakyat boleh saja memandang
kebijaksanaan-kebijaksanaan dari kelompok-kelompok lain misalnya: perusahaan,
organisasi- oganisasi profesi, majelis ulama, yayasan-yayasan sosial, dan lain
sebagainya, sebagai hal yang amat penting dan bahkan bisa mengikatnya. Akan
tetapi, hanya policy-policy dari pemerintahlah yang mampu melibatkan semua
warga negara untuk mematuhinya sebagai kewajiban yang legal.
2. Policy-policy
pemerintah melibatkan universalitas.
Hanya policy-policy
pemerintah yang mampu memasuki dan menjangkau semua rakyat dalam suatu
masyarakat. Tidak ada satu orangpun yang mampu menghindari dari suatu keputusan
kebijaksanaan telah diambil oleh pemerintah. Policy yang dibuat oleh
organisasi-organisasi lain yang disebutkan di atas, hanya mampu meraih sebagian
saja dari masyarakat.
3. Pemerintah memonopoli paksaan dalam
masyarakat.
Hanya
pemerintah yang bisa mengabsahkan tindakan untuk memenjarakan seseorang yang
melawan policy-nya. Sangsi yang barangkali akan diberikan oleh
organisasi-organisasi lain dalam masyarakat sangat terbatas. Adalah tepat
sekali, bahwa pemerintah mempunyai kemampuan-kemampuan memonopoli paksaan untuk
memaksakan loyalitas dari semua rakyatnnya, dan mengeluarkan policy-policy yang
mengatur seluruh masyarakat. Demikian pula pemerintah berhak memonopoli
penggunaan legimitasi untuk memaksakan dan mendorong individu-individu dan kelompok
bekerja sesuai dengan preferensi yang ditegaskan dalam policy.
VI. ANALISA KEBIJAKAN TERKAIT KEGIATAN
HULU DAN HILIR MIGAS
A. Analisa Undang-Undang
Analisis
Undang-Undang meliputi analisis terhadap Undang-Undang Minyak dan Gas. Analisis
undang-undang berfokus pada latar belakang pembuatan undang-undang tersebut,
arah kebijakan undang-undang, visi dan misi, serta asas dan tujuan dari
undang-undang tersebut.
Analisis
terhadap aspek tujuan dilakukan dengan membandingkan tujuan masing-masing
undang-undang melalui ayat tentang tujuan yang terkutip secara tersurat dalam
isi undang-undang tersebut. Jika membandingkan masing-masing tujuan yang telah
terkutip dalam isi masing-masing undang-undang, maka akan terlihat hubungan
yang tidak koheren. Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Migas yang
diciptakan dalam rangka mengintegrasikan undang-undang energi lain yang telah
dibuat pada tahun-tahun sebelumnya ternyata tidak mampu mempersatukan kepentingan
masing-masing sektor migas melalui tujuan yang selaras.
Setidaknya
terdapat 5 undang-undang dan satu keputusan presiden yang secara substansi dan
praktek berbenturan dengan UU No 22/2001 tentang Migas. Keenam peraturan
perundangan tersebut berbenturan setidaknya pada tujuh aspek, yaitu aspek penggunaan
lahan pertambangan, pengolahan limbah, badan pengatur dan pelaksana, konservasi
dan lingkungan, hak asasi manusia, tata ruang dan jenis kawasan, dan ketentuan
perizinan. Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyebutkan bahwa
pertambangan hanya dapat dilakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi.
Padahal potensi minyak dan gas bumi dan energi lain banyak berada di hutan
konservasi. Namun sebaliknya, UU 41/1999 tentang Kehutanan melarang apapun
kegiatan pertambangan yang berada di wilayah hutan konservasi. Padahal
Undang-Undang Migas sendiri menekankan pentingnya produksi khususnya minyak dan
gas bumi agar lifting sesuai dengan target Pemerintah. Benturan ini jelas akan
menyulitkan bagi pengusaha kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi untuk
meningkatkan jumlah produksinya. Kemudian, penggunaan lahan pertambangan ini
juga dihadapkan pada masalah tumpang tindih lahan yang disebabkan kebijakan
ganda yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang
Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang memberikan kewenangan
Pemerintah Daerah untuk membuat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) bagi
Kabupaten/Kotanya terkadang membenturkan tata ruang yang telah ada, khususnya
wilayah pertambangan. RTRW yang dibuat terkadang mengabaikan keberadaan wilayah
pertambangan yang sebenarnya telah ada sebelumnya.
Pada
aspek perizinan, benturan yang terjadi akibat berbagai undang- undang yang
memberikan atribusi kewenangan kepada beberapa lembaga menyebabkan sulitnya
proses perizinan. Untuk mendapatkan izin melakukan kegiatan, pengusaha harus
melakukan proses perizinan di lebih dari satu pintu.
B. Peran Pengelola Hulu dan Hilir Migas
Pada 2012 lalu, pernah terjadi kasus di
Batam, salah seorang Pagawai Negeri Sipil memiliki uang dalam sebuah rekening
Bank hingga 1,4 Triliun. Hasil dari penyidikan menyatakan bahwa uang itu
didapat oleh pegawai PNS tersebut dari hasil bisnis BBM bersubsidi. Dapat
dipastikan dengan adanya kasus itu, Badan Pengelola Hilir Migas (BPH Migas)
tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Salah satu fungsi yang tidak berjalan
adalah fungsi pengawasan.
Badan Pengelola Hilir Migas atau
biasa dikenal dengan BPH Migas selain memiliki fungsi sebagai pengatur hilir
migas juga memiliki fungsi sebagai pengawas dari distribusi bahan bakar. Untuk
menunjang fungsi pengawasan distribusi migas, BPH Migas memiliki satuan tugas
yang diberi nama Penyidik Pegawai Negeri Sipil. BPH Migas dapat mengoptimalkan
peran PPNS dalam fungsi pengawasan distribusi Migas.
Atas kasus yang terjadi pada 2012
itu, komisi VII DPR RI sempat mengecam kinerja dari BPH Migas. Mereka menyatakan
bahwa BPH Migas layaknya macan ompong yang memiliki kekuatan dan kewenangan
namun kekuatan dan kewenangan itu tidak dipergunakan sebagaimana mestinya,
Bahkan atas terjadinya kasus itu muncul wacana untuk membubarkan BPH Migas.
Selain lemahnya fungsi pengawasan
yang dilakukan oleh BPH Migas, mereks juga dinilai lemah dalam hal distribusi
bahan bakar. Hal ini ditandai dengan maraknya kelangkaan bahan bakar di
sejumlah tempat di Indonesia. Terdapat antrian panjang di SPBU-SPBU sehingga
menimbulkan kekacauan, bahkan dibeberapa tempat sempat terjadi keributan
dikarenakan masyarakat kehabisan bahan bakar minyak bersubsidi. Beberapa kasus
keributan warga akibat langkanya bahan bakar bersubsidi diantaranya adalah,
Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur.
Lain persoalan di hilir lain pula
persoalan di Hulu Migas Indonesia. BP Migas yang dianggap sebagai wakil
pemerintah dalam menangani kontrak-kontrak kerjasama dengan
perusahaan-perusahaan asing malah melakukan banyak kesalahan. Kesalahan-kesalahan
itu ditakutkan dapat merugikan Negara dan menghilangkan kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai contoh, pengembangan dan
penjualan LNG Tangguh yang berpotensi merugikan negara sekitar Rp 30
triliyun/tahun karena dijual ke Cina dengan harga yang sangat murah sekitar US$
3,35/mmbtu.
VII. Kesimpulan
Bagi
Indonesia yang sampai saat ini masih mengandalkan BBM sebagai tulang punggung
energinya, kebijakan tentang pengelolaan BBM sangat penting dan utama. Jika
kebijakan BBM tidak mampu menjawab masalah yang ada, maka berdasarkan
pengalaman Indonesia dari tahun ke tahun, kelangkaan, kenaikan harga, dan lain
sebagainya berpotensi untuk terus terjadi. Saat ini UU No 22/2001 Tentang
Minyak dan Gas adalah UU yang mengatur tentang tata kelola minyak dan gas dari
hulu ke hilir. Sampai saat ini, UU ini masih menjadi perdebatan oleh banyak
kalangan, karena terdapat beberapa kelemahan, salah satunya adalah terbuka
luasnya akses bagi pihak asing untuk ikut mengelola migas Indonesia yang
merupakan sektor strategis tidak hanya bagi perekonomian negara, tapi juga bagi
pertahanan dan keamanan negara. Menurut Rizal Ramli, ada agenda asing dibalik
pengesahan UU 22/2001 tentang Migas ini. Keterlibatan beberapa institusi asing
seperti USAID memiliki target untuk memasukan beberapa target dan agenda asing,
seperti memasukan mekanisme harga internasional ke Indonesia dan menguasai
perekonomian migas Indonesia, termasuk di dalamnya menghilangkan kewenangan
Pertamina mengatur kontrak kerja sama migas dan memberikannya kepada Badan
Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas)
Setelah
berlakunya UU No 22/2001, peran Pertamina bagi sektor Migas Indonesia menjadi
berkurang. Sebagai gantinya BP Migas dan BPH Migas yang menangani peran untuk
mengatur kontrak kerja sama dengan investor serta mengatur distribusi dan
konsumsi di hilir. Peran Pertamina menjadi lebih sempit, yaitu hanya sebatas BUMN
yang kedudukannya setara dengan perusahan migas multinasional seperti Chevron,
Total, Conoco Philips, dan lain sebagainya. Sementara itu, peran BP Migas untuk
mewakili Pemerintah dalam menandatangani kontrak dengan Perusahaan/kontraktor
asing bagi sebagian kalangan dianggap berpotensi menghilangkan kedaulatan
negara, karena akan menyebabkan Pemerintah disejajarkan dengan perusahaan Asing
dan menyebabkan kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah.
Dari penjelasan singkat tentang
kebijakan energi Indonesia tersebut ada beberapa hal yang dapat disimpulkan.
Pertama, beberapa kebijakan Pemerintah dalam sektor energi masih belum mampu
menjawab persoalan energi yang ada. Pada beberapa kebijakan, seperti UU No
22/2001 Tentang Migas, justru dianggap melemahkan peran Pemerintah Indonesia
dalam tata kelola Migas Indonesia. Kedua, masih terlihat inkonsistensi arah
kebijakan pengelolaan energi Indonesia, seperti yang terlihat pada lumpuhnya
peran DEN dengan produk hukum yang lemah. Ketiga meskipun Kementerian ESDM
telah membentuk Ditjen EBTKE, namun sampai saat ini belum terlihat adanya hasil
maupun sinergisitas antar lembaga dalam penggunaan energi alternatif seperti
gas dan panas bumi
DAFTAR
REFERENSI
Aryani, Dewi. 2012. Skenario Kebijakan Energi Indonesia
Hingga 2035. Jakarta. FISIP Universitas Indonesia
Tahir, Arifin. 2011. Kebijakan Publik dan Transparansi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jakarta. Pustaka Indonesia Press
Fischer, Frank. Miller, Gerald J & Sidney, Mara S. 2007.
Handbook of Public Policy Analysis (Theory, Politics, and Methods). London. CRC
Press
Rusli, Budiman. 2013. Kebijakan Publik (Membangun Pelayanan
Publik Yang Responsif). Bandung. Hakim Publishing
Moran, Michael. Rein, Martin & Goodin, Robert E. 2006.
The Oxford Handbooks of Political Science. New York. Oxford University Press.
Undang-Undang No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
Instruksi Presiden No 2 Tahun 2012 Tentang Peningkatan
Produksi Minyak Bumi Nasional
Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha
Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Permen ESDM No 06 Tahun 2016 Tentang Ketentuan dan Tata Cara
Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi.
Komentar
Posting Komentar